Oleh : Senator Filep Wamafma
TANAH Papua dengan kekayaan alam berlimpah tentu menjadi harapan besar terwujudnya cita-cita kesejahteraan masyarakat Papua. Seolah menjadi kontradiksi, beragam persoalan justru masih terjadi mulai dari pro-kontra masyarakat atas pembentukan DOB Papua hingga konflik bersenjata di sejumlah daerah.
Bahkan, persoalan mendasar seperti masalah pendidikan dan kesehatan tak juga terselesaikan. Mayoritas desa-desa tertinggal masih ada di wilayah Papua-Papua Barat hingga Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kedua provinsi ini selalu menjadi yang terendah secara nasional.
Kondisi ini layaknya sebuah paradoks dan teka-teki yang mendalam. Mengapa hingga kini tanah Papua masih bergejolak dan beragam persoalan tak kunjung selesai?.
“Jika ada yang menyatakan keberhasilan pembangunan, mengapa Papua selalu menjadi Provinsi termiskin?, mengapa Indeks Pembangunan Manusia rendah?, Mengapa pendidikan dan kesehatan lambat? Kemana hasil kandungan emas dan tambang lainnya diperjualbelikan?. Kenapa masih ada perang di Papua sampai saat ini, saat dimana berbagai daerah di belahan negara Indonesia sudah berpikir tentang Revolusi 4.0?” rilis Senator Filep Wamafma, Sabtu (11/6/2022).
Penanganan persoalan Papua, menurut dia harus menyentuh akar persoalan. Pemerintah selayaknya terbuka terhadap permintaan pelurusan sejarah terkait integrasi Papua ke NKRI.
“Secara de jure tentu Papua milik Indonesia, namun secara de facto permintaan akan pelurusan sejarah sampai pada Pepera, patutlah dihargai, di negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Apakah Pepera untuk meloloskan Kontrak Karya Freeport? mengingat Soeharto sudah menerbitkan Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967? Semuanya seperti informasi yang berkabut dan penuh misteri,” terangnya.
“Sesungguhnya tidak ada alasan ketakutan tertentu untuk dibuka, setidaknya agar generasi muda Papua dapat melihat sejarah sebagai milik bersama, bukan sebagai milik penguasa,” sambung Filep.
Sederet kasus pelanggaran HAM di Papua terhadap OAP juga masih menuntut keadilan sepenuhnya dari pemerintah. Seperti Kasus Biak Berdarah, 6 Juli 1998, Kasus Wasior Berdarah, Juni 2001, Kasus Wamena Berdarah, April 2003, Kerusuhan Universitas Cenderawasih, di Jayapura 16 Maret 2006, Kasus Paniai Berdarah, di Enarotali, 8 Desember 2014, Kasus Deiyai pada 1 Agustus 2017, Kasus Nduga, 2 Desember 2018.
Filep menyebut catatan pelanggaran HAM disampaikan dalam catatan Amnesty Internasional hingga Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Mayoritas kasus terkait pelanggaran hak atas hidup, sebanyak 15 kasus, khususnya di daerah yang sedang mengalami konflik politik, seperti Kabupaten Intan Jaya, Yahukimo,l dan Pegunungan Bintang.
Catatan berbagai persoalan HAM itu bahkan dibahas pelapor khusus HAM PBB. Hingga di tahun 2021 Pemerintah Indonesia telah menerima komunikasi dari mekanisme Dewan HAM PBB, Special Procedures Mandate Holders/SPMH. SPMH meminta klarifikasi dan penjelasan mengenai sejumlah kasus dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, penyiksaan, dan pemindahan paksa di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Terbaru muncul desakan dari LBH Papua hingga Komnas HAM kepada pemerintah untuk segera melakukan audit terhadap BIN terkait pembelian mortir Serbia. Akan tetapi penegakan hukum terkesan tidak tegas atas persoalan tersebut.
“Semua pelanggaran HAM tidak berjalan linear dengan penegakan hukum dan peradilannya, terkesan mati suri. Tarik ulur penyelesaian antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menjadi hal paling sulit untuk dilerai. Sulit diterima akal sehat jika semua kasus di atas seolah dipeti-eskan. Lalu di mana rasa keadilan itu?,”tanya Filep.
“Yang menyedihkan solusi Pemerintah hanyalah pembangunan infrastruktur. Bagaimana orang bisa makan-minum-sekolah kalau masih ada perang?, bagaimana orang bisa tidur nyenyak kalau masih lihat senjata? belum lagi trauma psikologis generasi muda Papua yang harus memendam kebencian. Luka historis OAP memang tidak akan pernah sembuh, selama Tanah Papua selalu menjadi medan konflik,”paparnya.
Hasil kajian sejumlah LSM juga menemukan indikasi adanya hubungan antara operasi militer di Papua dengan konsesi perusahaan tambang di Papua. Temuan ini membawa nama sejumlah pejabat tinggi dan persoalan ini berujung pelaporan terhadap pembela HAM.
Sejumlah oknum aparat keamanan justru terbukti terlibat jual-beli senpi dan amunisi di tanah Papua. Ini seolah mengisyaratkan konflik bersenjata di Papua tak akan pernah berakhir.
Di sisi lain pemerintah getol melakukan pemekaran yang apabila bercermin pada pengalaman sebelumnya, telah banyak terfokus pada penyiapan dan pembangunan infrastruktur. Pemekaran wilayah berbarengan dengan sejumlah program strategis nasional yang jelas membutuhkan biaya besar.
Yang terpenting saat ini bukanlah memekarkan DOB namun menyelesaikan persoalan keadilan dan kekerasan diskriminatif-spiral dalam bentuk penegakan hukum terhadap HAM. Juga menyelesaikan persoalan kesejahteraan pendidikan-kesehatan OAP dalam bentuk penggunaan dana Otsus secara tepat sasaran dan pemberlakuan pengawasan serta evaluasi yang terintegrasi.
“Melihat rentetan peristiwa di tanah Papua, kita patut bertanya apakah Papua (sengaja) dijadikan medan konflik?, Apakah ada agenda terselubung di balik ini semua?,” singkatnya dalam rilis. (***)